Gelaran Il Divo: Jakarta Live Concert

By Be Samyono (026022012-11:11)

Bila menilik sudah 3 kali Il Divo konser di Jakarta. Bisa dipastikan ada pasar yang kuat akan musik bergenre pop-opera ini di sini.  Sebagai salah satu penggemar saya sangat berharap bisa menontonnya. Namun, Tidak di Jakarta.  Kenapa?.  Ketiga konser itu selalu dilakukan di hotel!.  Di benak saya hanya gedung opera saja yang mampu memberikan kenikmatan optimal menonton pertunjukan langka bin bertiket mahal ini.  Jelas hotel bukanlah tempat yang sempurna.  Tidak saja masalah akustik namun juga layout tempat duduknya.  Beberapa kali saya alami harus pulang dengan membawa kesesalan karena selalu saja tempat menjadi faktor pemoles ketidakmaksimalan performance. Mungkin harapan saya termasuk konyol bila ingin menikmati pertunjukan seperti bayangan saya.  Karena sejauh jakarta tidak mempunyai gedung pertunjukan musik dengan dukungan akustik yang layak, jelas saya hanya bermimpi. Wajar bila tiga kali pertunjukan membuat saya berfikir 3 kali pula untuk merogoh kocek saya.  Ujung-ujungnya saya menunggu konser tersebut digelar di Singapore.  Tempat paling dekat untuk di effort.

Entah hujan darimana tiba-tiba saya mendapatkan 2 tiket Gratis menonton Il Divo di Ritz Carlton 25 Februari lalu.  Antara kesenangan dan raguan saya terima tiket ini sangat berterima kasih.  Saya yakin tak akan tersiakan karena Istri saya sama sukanya dengan Il Divo.  Dirumahpun tak ada album koleksi Il Divo yang luput untuk dibeli. (kecuali album chrismast yang tidak beredar disini).  Saya pribadi lebih memilih melihat konsert seperti ini tidak saja karena musik yang jelas saya suka namun pasti sudah ada kepastian tempat dan juga nomor tempat duduknya.  Satu lagi. Tidak berdiri berdesakan hahahaha.

Kami datang pukul 7,  satu jam sebelum pertunjukan dimulai.  Ritz Carlton Pacific Place Ballroom sudah mulai dipadati penonton.  Tak ketinggalan belasan calo ikut memberi warna muram dunia pertunjukan Indonesia.  Saya tergeleng-geleng.  Penjagaan cukup ketat meski tidak seprofesional pertunjukan Broadway yang pernah saya tonton di Sands Teather MBS. Di lobby branding dan kegiatan salah satu sponsor cukup mencolok untuk event gelaran Big Daddy Organizer ini.  Sayang kami tak menemulan Stand poster pertunjukan yang biasa digunakan untuk berphoto.  Kamipun memutuskan masuk ke Ballroom.  Seperti bayangan saya.  Ballroom ini dipenuhi 1500 tempat duduk dengan tatanan classes menghadap depan.  Separo ruang untuk tiket Gold dan VIP dan selebihnya untuk silver.  Khusus untuk silver tempat duduk ditempatkan di panggung yang ditinggikan 1 M.  Sementara tampak di depan tatanan panggung tak ada yang bisa dibilang spektakuler.

Kursi Silver E28 saya berada di baris ke 5 dari depan dan deret ke 3 dari sisi kiri.  Saya sedikit kecewa.  Pemandangan ke panggung tidaklah maksimal.  Problem yang sama untuk semua kursi silver kecuali yang berada di baris depan.  Termasuk juga bagi kursi gold di ujung belakang.  Maklum semua penataan tidak berbentuk amphitheater.  Satu-satunya penolong hanyalah screen besar di kanan kiri panggung yang karena keterbatasan tinggi ruang menjadikannya tidak maksimal juga.  Harapan selanjutnya hanya pada akustik.  Semoga bisa memberikan kepuasan lebih.  Saya lihat Sinyal HP saya meredup dan mati. Bisa dipastikan pertunjukan akan dimulai sebentar lagi.

Lepas dari keterlambatan 17 menit, konser ini dibuka dengan lagu menawan “come what may” dan diteruskan dari beberapa lagu baru dari album gress mereka “Wicked game”.  Angin pembuka ini terasa sangat adem ayem.  Bisa jadi lagu baru belum memberikan tautan hati yang cukup mendalam bagi penonton, meski secara vokal dan dan kepiawaian harmoni begitu indah tercipta.  Kematangan  Sebastian Izambard (penyanyi pop asal Perancis), Carlos Marin (penyanyi bersuara bariton berkebangsaan Spanyol), David Miller (penyanyi bersuara tenor asal Amerika Serikat), dan Urs Buhler (penyanyi bersuara tenor dari Swiss) sangat padu dan matang di kolaborasi mereka 8 tahun ini.  Saya cukup resah di kursi saya.  Pemandangan kedepan tidak maksimal, juga ke screen.  Akustikpun seakan menempatkan kami diluar ruang.  Meski penampilan mereka sangat sempurna namun jelas ruang ini tidak di desain untuk satu akustik yang sempurna.  Pun background animasi yang ada.  Sama sekali tidak maksimal.  Hasilnya saya hanya bisa berkata “Jangan jangan jalan terbaik menikmatinya adalah duduk sambil memejamkan mata dan meresapi setiap melodinya”. Saya putus asa.

Kegalauan saya tak lama, saat suasana yang di lead dari pusat panggung semakin cair.  Terlebih munculnya lagu-lagu yang cukup kami kenal seperti passera, halleluyah dan sederet lagu lama lainnya. Penonton semakin panas.  Lagu mama, regresi a mi, hingga kesukaan kami, every time I look at you muncul dalam olahan titi nada yang sangat persis dengan recording baik suara maupun instrumen yang dimainkan.  Sungguh merupakan ketakjuban atas performance yang luar biasa ini, atas keprimaaan kualitas suara mereka.  Saya tak kuasa memberikan tepukan panjang dan beberapa kali berdiri. Setelah jeda 20 menitpun tidak menurunkan performa mereka. Malah dialog dengan penonton mulai mengalir dan berhasil dibangun.   Saya memang tidak menemukan keseluruhan penonton cukup antusias dengan konser ini.  Apakah masalah bahasa yang digunakan (latin) atau memang tidak semua yang hadir  datang dengan satu tujuan, menikmati musik klasik. Sayang konser ini yang menghadirkan 20 an lagu ini harus diakhiri.

Satu kalimat penutup yang manis dari Carlos, “Il divo bukanlah musik opera juga bukan pop dia berada (place) diantaranya.  Dan yang lebih penting dari itu adalah bagaimana dia telah berada di satu tempat (place) di hati kita, dihati kita semua” dan mengalumlah lagu Somewhere yang melancolis itu.  Kembali kami bagaikan tersihir dan harus disadari ini lagu terakhir. Tepuk berkepanjangan mengakhiri penampilan mereka namun sepertinya tepukan ini tidak segera usai malah makin gemuruh meneriakkan kata “We want more” berulang.  Panggung yang meredup seperti tak mendengar demikian juga Orkestra yang mengiringi tetap tak bergeming.  Suara saya ikut parau meneriakkannya.  Hingga… Orkestra kembali mengalun perlahan dari lagu “It’s time to say goodbye” benera-benar menjadi bonus dan memberikan perpisahan terakhir.  Wuah kami terpuaskan.

Saya hanya berkata kecil kepada istri saya, “kita akan menontonnya lagi, tapi tidak Di SINI,”

Please follow and like us:
Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmail

You may also like

1 comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *