Kembali Tertangkap Di Negeri Orang

Tas kameraku dipundak aku letakkan di sebelah kakiku, tinggal ini saja yang tersisa karena lainnya telah masuk bagasi pesawat. Didepanku beberapa orang petugas imigrasi bermata sipit mengamati wajah dan dokumenku bergantian sembari menanyakan hal umum. Ini bukan penangkapanku yang pertama terjadi di negri ini. Aku sudah terbiasa. Tak perlu takut.

*******

Tahun 2003 tepatnya aku dan kakakku mempunyai masalah di kantor imigrasi Tuas saat kami akan meninggalkan Singapore menuju Malaysia dimana sialnya kakakku menghilangkan secarik kertas leave form yang saat masuk ke Singapura ini telah kami isi. Urusan jadi lebih lama di Imigrasi karena kami harus diinterogasi secara khusus di ruang tersendiri sementara penumpang lain menanti dengan tak sabar di Bus Continent. Kejadian Berulang 2 tahun kemudian. Perjalanan tengah malam dengan segebok oleh-oleh berupa peralatan logam justru membuahkan kesulitan saat menuju Singapore dari Malaysia. Entah kenapa data kami jadi sulit diakses sehingga hampir setengah jam kami tercekal di imigrasi. Bus yang hanya berisi 8 orang itupun terpaksa menunggu lama. Kapok! mungkin kata itulah yang tepat di katakan. April tahun ini beberapa kejadian terulang dan lebih buruk malah. Tertangkap 2 kali dan passpor hilang. Memang tak ada yang lebih buruk daripada kehilangan passpor di negri orang.[…….]

Continue Reading

You may also like

Sodomi Masal

Era disket telah usai, Flash disk kini menggantikannya. Dan karena begitu mudahnya mencolak-colok flash disk, jadilah kebiasaan untuk mengambil file melalui flash disk tanpa mengingat resiko penularan virus. Praktek inipun terjadi di setiap akhir kuliah di Kampusku. Tiap ada teman presentasi ataupun dosen mengajar pasti lusinan flashdisk sudah antri untuk meminta copy file. Melelahkan dan tidak praktis memang karena beberapa teman dengan entengnya menitipkan flashdisk begitu saja. Padahal bila mau bersabar file cukup di copy beberapa orang yang kemudian di share. Namun rupanya pepatah makin tua makin bisa bersabar tak berlaku di kelas ini. Hingga pemandangan seperti ini menjadi jamak. Dan akupun sebagai orang yang dianggap melek teknologi selalu mendapat peran melakukan tugas ini. Padahal kadang aku heran apakah setiap copy-an ini sempat untuk dibaca! Bukannya malah menumpuk menjadi sampah digital. Tapi begitulah. Rupanya pepatah yang berlaku disini adalah makin tua makin pikun, karena habis ngopy selalu minta copy lagi karena lupa. Maklumlah!. Bukankah salah satu indikator seorang doktor itu adalah pelupa.

Beberapa dosen dengan senang hati akan mengijinkan kami mengcopy baik lewat assistennya atau kami kerjakan sendiri. Selebihnya mereka enggan memberikan karena toh hard copy telah dibagikan selain alasan malasnya melihat tumpukan flashdisk yang sudah antri di depan mereka. Atau bisa jadi mereka mengerti apa resiko “sodomi Masal” seperti ini. Aku sendiri lebih suka mempersiapkan file berbasis PDF bila ada indikasi rekan meminta copy file. Alasannya cukup sederhana, apalagi kalau bukan karena alasan kompability? Karena perbedaan versi seringkali rekan-rekan minta copy lagi gara-gara file yang dicopy tak bisa dibuka. Sepele memang tapi bila tak cukup seorang yang meminta dan tak cukup sekali dilakukan bikin bete juga. Tapi mau dikata apa kebanyakan dari temen-temen adalah gaptek mania, jadi mau tak mau keadaan ini ditelan saja.[…….]

Continue Reading

You may also like

Semester Pendek, Memendekkan Nafas

Dalam perjalanan kereta saat saya berlibur bersama keluarga untuk memperkenalkan Baby Sophie kepada sanak kerabat kami tersela dengan berita mengenai semester pendek. Nafas saya seakan menjadi pendek membayangkan bahwa saya harus mengajar di Universitas Al Azhar selama 3 minggu berturut dan dalam waktu yang bersamaan sayapun harus masuk kuliah di UNJ dalam semester pendek pula. Bedanya Semester Pendek di UAI saya harus mengajar 20 anak yang mengulang mata kuliah Dasar-dasar manajemen sementara di UNJ saya harus menguasai matakuliah Inter Cultural Management & Leadership. Mengenai kesamaannya adalah bahwa saya harus bertemu dengan orang yang sama dalam waktu tiga-empat minggu terus menerus. Akhirnya saya mempertanyakan keefektifan adanya Semester Pendek. Bukan karena kebosanan saya bertemu dengan orang yang sama tapi peran saya sebagai dosen sekaligus mahasiswa pada akhirnya bisa berkaca untuk menjawab pertanyaan saya sendiri.

Sebagai dosen yang kejar tayang ada hal yang hilang disaat saya harus mengajar Semester Pendek. Sulit bagi saya menjaga animo dan motivasi mahasiswa untuk tetap konsisten mengikuti kuliah disamping faktor kebosanan bahwa sebenarnya mereka telah beberapa kali mengambil matakuliah ini walau tidak lulus.Selain itupun saya sulit untuk mendidik karena saya lebih ditekankan untuk mengajar. Mengajar agar target mereka untuk lulus dimata kuliah ini bisa terpenuhi. Ini satu kehilangan bagi saya karena saya lebih suka memposisikan diri saya sebagai pendidik bukan pengajar. Terlebih pengajar yang kejar tayang.[…….]

Continue Reading

You may also like

Back To School

Satu kesempatan saya peroleh untuk melanjutkan studi saya ke jenjang S3 di dengan program Doktoral MSDM. Kesempatan berupa waktu yang longgar dan adanya dukungan financial. Namun yang lebih saya syukuri dan mensuport keinginan ini adalah dukungan my Hunny. Saya menyadari bahwa studi ini berat mengingat adanya waktu yang harus kami korbankan dimana saya harus terpisah dengan keluarga selama hari-hari kuliah karena akses kampus yang lebih dekat ke rumah daripada ke rumah mertua dimana anak istri saya tinggal untuk sementara. Selain itupun adanya beberapa tugas memaksa saya untuk kerepotan membagi waktu antara kerjaaan saya yang multi tasking dan study yang lebih mengarah ke banyak tugas take home. Saya beruntung karena menjadi segelintir orang yang mengambil program doktoral ini selagi usia masih dibawah 35 tahun. Setidaknya tenaga dan pikiran saya cukup fresh dan terbuka. Namun rupanya keberuntungan saya ini tidaklah begitu saja menjadi modal utama karena jelas setelah satu semester saya jalani perkuliahan ini saya malah tertatih-tatih.

Baru kali ini saya kuliah di Universitas negeri (Universitas Negri Jakarta). Satu institusi dengan budaya yang jauh berbeda dengan saat-saat saya kuliah di perguruan swasta yang sangat kompetitif dan penerapan satu layanan prima. Tidak itu saja, metode pendidikan serta lingkup pergaulannyapun merupakan satu yang asing bagi saya. Rupanya disini saya harus lebih banyak effort untuk menghadapi tantangan secara eksternal daripada dari internal diri saya sendiri. Ini tidak mudah. Meski disebut tantangan tak urung saya sempat hampir menyerah dengan prinsip-prinsip saya yang selama ini saya terapkan dalam belajar. Satu semester sebenernya merupakan waktu yang lama untuk satu adaptasi, namun saya tak bisa mempersingkatnya. Hingga kini tanpa mengalahkan prinsip dan motivasi saya untuk tetap meraih keinginan saya berupaya untuk fight. Setidaknya saya tetap menjadi jatidiri saya tanpa mengorbankan prinsip yang saya junjung. Ibarat pepatah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Karena bagaimanapun saya menyadari yang bisa memagang kendali terhadap diri saya adalah saya sendiri bukan lingkungan ataupun orang lain.[…….]

Continue Reading

You may also like