Merah Putih Di Brojo Soemantri

Pukul tiga. Masih satu jam untuk menanti waktu latihan tenis seperti minggu-minggu biasanya. Tapi pojok lapangan tenis Brojosumantri telah ramai. Setidaknya ada Mamat, Grenadi, Faozan dan Danan yang sibuk merangkai bendera. Bendera plastik merah putih itu mereka ikat dengan benang dan di hiaskan di bangku beratap di pinggir lapangan sekalian memanjang diantara net. Meriah. Sebuah mejapun disiapkan lengkap dengan hiasan bendera yang langsung penuh dengan makanan, jajanan, buah dan berbagai minuman. Sampai terfikir akankah semua ini bisa dihabiskan. Tak ketinggalan hadiah lomba juga disiapkan dengan rapi dan dibungkus mendadak di tribun. Benar-benar proyek swadaya khas komunitas ini. Selamatankah? syukurankah? atau perayaan? Yang benar kami mempersiapkan pertandingan!

Setelah 3,5 tahun lebih berdiri, MHI-Tennis hampir pasti tidak pernah melakukan tanding resmi secara intern. Bertepatan dengan peringatan 17-an tahun ini dan kebetulan juga jatuh di hari minggu, satu usulan bertanding secara intern dan peringatan 17-an dengan potluck dimunculkan dan diamini semua anggota. Dengan waktu persiapan hanya seminggu melalui milist, hari ini semua anggota tenis yang aktif dilapangan datang dengan dresscode merah putih plus tentengan berbagai ragam mkanan dan minuman untuk potluck. Tak ketinggalan beberapa anggota milist dan keluargapun hadir termasuk Edwin salah satu founder team ini. Bisa dibilang member tenis ini adalah “The New Wave“. dari 12 orang yang tercatat separuh dari angka itu adalah anggota baru yang tak berkorelasi dengan anggota lama. Meski sebagian masih pemula tapi semangat dan kebersamaannya patut diacungin 2 jempol. Perbedaan kemampuan bermain ini tentunya akan mengubah komposisi kekuatan team secara keseluruhan. Tapi sejak mula MHI tenis punya motto: akrab, fun & sehat. Jadi tak ada alasan untuk kawatir mengenai performa team. Karena bukan prestasi yang dikejar komunitas ini melainkan rasa kekeluargaan!. Dan inilah yang membuat kami bertahan hingga sekarang.[…….]

Continue Reading

You may also like

Keajaiban

Sering kali saat menggendong Baby Sophie anak saya, setiap jengkal muka dan rambutnya tak pernah luput dari pandangan saya. Saya selalu takjub dengan keberadaan dia di gendongan saya. Merasakan bagian lain dari diri dan cinta saya menjelma menjadi seorang bayi. Tidak saja ketakjuban saya berhenti karena melihat kondisi fisiknya yang sehat dan menduplikasi fisik saya dan Bundanya tapi juga melihat kondisi psikisnya yang sering kali membuat saya tertawa juga terkadang kawatir berlebihan. Satu hal yang saya syukuri adalah keberadaan dan kelonggaran waktu bagi kami untuk selalu bisa bertemu dan berkumpul hingga saya selalu bisa melihat perkembangan Baby Sophie dari waktu kewaktu. Kalaupun saya dikantor Bundanya tak pernah lupa untuk mengirimkan photo-photo si kecil bersama perkembangannya lewat MMS. Dan moment keajaiban itu selalu tak luput saya dapatkan.

Saat 10 menit setelah Baby Sophie lahir dan saya menemuinya, saya menemui keajaiban saya yang pertama. Baby Sophie tersenyum pada saya sembari mengeluarkan suara dan meraih uluran saya lewat tangannya yang lemah. Diapun seakan bahagia hadir diantara kami. Saya meneteskan airmata! Pun ketika saya keluarkan HP untuk memotretnya dan Baby Sophie tak melepaskan pandangan dari kamera, saya jadi tergelak. Menemui perangai Baby Sophie yang tak jauh dari sikap sadar kamera yang ada pada saya.[…….]

Continue Reading

You may also like

Ibu

Jauh dari “kehidupan Baru” dalam arti terlibat di dunia tumbuh kembang balita membuat saya mempunyai pemikiran yang praktis selama ini bahwa wanita dan pria mempunyai beban yang sama utamanya dalam merawat anak. Beban yang sama berat meski punya dimensi aplikasi yang berbeda. Saya salah! dan harus mengakui itu. Meski dibilang tanggung jawab merawat anak sama besar namun nyatanya seorang ibu mempunyai beban fisik dan psikis yang jauh lebih berat dibanding seorang ayah. Bahkan kondisi ini mulai berlangsung begitu dini saat anak mulai membentuk dirinya sebagai janin dalam rahim. Saya selama ini hanya tersenyum bila mendengar keluh seorang ibu yang memaparkan cerita betapa repotnya menyusui, mengasuh anak ataupun berada dalam kondisi hamil. Senyum saya bermakna kata”kenapa repot?” karena bagaimanapun semua itu toh hal yang natural. Hal yag lazim dan sudah menjadi tanggung jawab tak terbantahkan. Saya melihat keluhan itu bagai suatu dalih.

Enam hari ini saya berjumpa dengan “kehidupan baru” itu setelah 39 minggu saya terlibat dalam kondisi kehamilan istri saya. Saya ikut merasakan bagaimana 3 bulan pertama kehamilan merupakan kondisi yang sama-sama serba salah. Ketidakadanya pengalaman karena merupakan satu keluarga yang baru dan kondisi psikis yang terbentuk karena perubahan hormon istri menjadi pemicu dasar yang tak bisa dihindari. Meski bulan selanjutnya sudah mulai beradaptasi tapi menjelang tiga bulan terakhir sebelum melahirkan kembali kondisi itu muncul. Utamanya karena perkembangan janin yang makin besar sudah tidak bisa kembali memberikan kenyamanan fisk bagi seorang ibu. Terlebih bila dihadapkan pada kecemasan menjelang melahirkan, menjadikan situasi makin tidak konduksif.[…….]

Continue Reading

You may also like