By Be Samyono (019022012-09:19)
Resiko. Mesti bisa dibilang murah hingga (Rp 0,-). Namun waktu keberangkatan yang jauh bulan memungkinkan Tiket AirAsia yang sudah kita pegang mempunyai resiko tidak berangkat. Itulah yang terjadi saat kami mendapat tiket serupa ke Bangkok yang berangkat Mei 2010 lalu. Pergolakan kaos merah yang membuat Thailand keamanannya diragukan menjadikan penerbangan AirAsia ke negara gajah putih di batalkan. Pihak Air Asia cukup bertanggungjawab dengan mengembalikan tiket dengan beberapa option seperti re-route, re-schedule ataupun dikembalikan dalam bentuk deposit. Bukan perkara uang kembali tapi kegembiraan yang hampir setahun ditunggu seakan menguap begitu saja. Terlebih bisa jadi ini kali terakhir penerbangan low budget ini memberikan promo fantastik seperti ini. Tak ingin kecewa sayapun mengubah tujuan liburan ke Malaka & KL (lagi) untuk perjalanan setengah tahun kemudian.
Kembali dengan team yang sama kami berangkat Oktober 2010. Tujuh orang termasuk Sophie dan ditambah Catty. Sahabat Malay kami yang selalu bergabung untuk menjadi juru mudi. Dan di skenariokan bahwa Catty akan menjemput kami di LCCT dengan mobil sewaan untuk meneruskan perjalanan ke Malaka. Sengaja Mobil sewaan menjadi pilihan karena masalah fleksbiilitas meskipun cukup mahal dan berlipat 2 harga sewanya dibanding dengan di Jakarta. Namun setidaknya kami bisa banyak menghemat waktu terlebih bila dalam rombongan besar seperti ini. Seperti biasa pukul 10 waktu setempat pesawat telah tiba di LCCT. Cuaca yang cerah dan panas belum mampu menghapus kantuk kami yang harus bangun pukul 3 pagi tadi. Beruntung Catty tidak perlu pemandu untuk membantunya. Dan butuh waktu 2,5 jam untuk mencapai Malaka. Waktu bertambah 1 jam untuk istirahat makan di rest area dan memperlambat mobil agar bisa menikmati pemandangan.
Memasuki Kota Malaka kental sekali terlihat bahwa Melaka adalah sebuah kota tua yang dulunya pernah dijajah oleh 3 negara, Portugis, Belanda dan Inggris. Hal ini terlihat dari arsitektur gedung-gedungnya memiliki gaya arsitektur negara bekas penjajahnya bertebaran temukan di kota ini berbaur dengan bangunan Chinese yang dominan disini. Hal inipun tentu berpengaruh pada makanannya yang sangat berfariasi dan bisa dibilang surganya kuliner. Saat mencari Hotel Puri yang kami booking sebelumnya tidaklah sulit. Malaka adalah kota kecil, beberapa jalan satu arah dan berkelok diantara lorong disertai beberapa kemacetan merupakan pemandangan biasa. Sengaja kami pilih Hotel Puri Melaka yang terletak di No. 114, Jln Tun Tan Cheng Lock, 75200 Melaka. Selain berada di kawasan turis hotel inipun sarat dengan arsitektur chinanya yang kuno dan masih terawat rapi. Dan bisa dibilang inilah kelebihan Hotel ini yang mampu mengangkat sejarah dan warisan menjadi kekuatan layanan. Puas dan tak salah rasanya memilih hotel yang hanya bertarif di bawah Rp 500 ribu ini.
Mengingat tak lebih dari 24 jam kami disini, segera jadwal sore kami isi dengan mengunjungi beberapa situs sejarah yang menjadi maskot Melaka. Lokasinya yang mengumpul dan hanya berjarak kurang lebih 1-2 km membuat pilihan kami untuk berjalanguna mencapainya segera kami putuskan, sembari menikmati kehidupan sekitar Jonker Street yang sedang mempersiapkan ritualnya untuk nanti malam. St. Francis Xavier’s Church, The Stadthuys – Red Building: Bangunan kuno Belanda yang tertua di Asia Tenggara, St. Paus Hill (A Formaosa) menjadi bagian yang tak terlewat untuk dikunjungi. Beberapa photo narsis dan tak lazimpun tercetak dengan cepat dan bebas. Bisa dibilang turis mempunyai kemudahan untuk menilmati obyek wisata disini. Meski sebagian besar obyek wisata hanya berupa situs gereja, bentaeng ataupun markas. Namun perawatan dan kemudahan mencapainya memberikan daya tarik sendiri. Menjelajahi Malaka seakan kembali ke era 60-an yang mengasyikkan. Kembali ke hotel kami mencoba naik becak yang cukup unik disana. Dengan tarif Rp 30 ribu kami sudah dikembalikan kehotel dengan iringan musik yang cukup meriah.
Sejauh perjalanan ini dan beberapa kali bebergian jauh, patut di syukuri Sophie sebagai anggota termuda dalam rombongan tidak pernah cukup bisa menikmati dan tidak rewel. Masih saya ingat bagaimana kepergian jauhnya pertama di umur 6 bulan disusul kurang dari satu tahun dia sudah memiliku passport, dan sejak itu kemana kami pergi dia selalu ikut serta. Sepertinya menurun dari kami. Jalan-jalan adalah bagian drai kesenangannya. Tak terkecuali perjalanan kali ini. Bersyukur rekan-rekan rombongan yang selama ini menemani cukup bisa menciptakan suasanya yang menyenangkan dengan dia dan sangat membantu unttuk mengurusnya selama perjalanan. Komplit. Hingga tak ada kata tak menyenangkan saat membawa dia. Hanya mungkin beberapa penyesuaian saja kami buat. Saya dan Bunda sudah mulai memilah tempat mana yang bisa dikunjungi bersama dia dan memilih untuk lebih menikmati perjalanan dan tempat yang dikunjungi untuk menciptakan kesenangan bagi Sophie sendiri. Dan satu kuncinya yaitu membawa mainan kegiatan yang bisa Sophie nikmati: Buku!
Entah darimana info yang diperoleh namun kami mengikuti saran catty untuk makan malam di desa Alay. Entanh mengkin karena namanya yang membuat kami terpingkal atau karena kelaparan kamipun bagai kerbau dicocok hidung bergegas ke sana. Cukup jauh tapi perut memberikan sinyal lain. Kami pilih salah satu tempat makan terbuka diantara beberapa tempat yang ada, yang menyajikan sea food. Takjub dengan menu yang murah dan nama makanan yang kembali membuat kami terpingkal. Makan malam ini serasa menyemangati kebersamaan dengan canda dan kesenangan yang tak usai. Dan tak berhenti disitu malam ini kami habiskan dengan berjalan malam di Jonker Street. Jonker stret cukup terkenal dan happenig di malam hari karena jalan raya akan ditutup berubah ajang menjadi tempat makan dan berjualan. Beragam barang, makanan sampai kudapan dijual disana belum lagi dihias pertunjukan dan hingar musik dari bar-bar yang bertebaran. Jonker street satu tempat yang tak patut dilewatkan.
Bila harus kembali kemari jelas saya tidak akana menolak. Waktu sehari belumlah cukup untuk menikmati keunikan kota ini. Keberadaan kami disini kami tutup denganmenikmati makan pagi di teras garden hotel Puri yang menyajikan menu memikat. Belanja oleh-olehpun kami fokuskan di salah satu publik market di Melaka. Jelas harga lebih murah dari di KL selain itu kami tak berniat untuk kembali mengunjungi central market. Pukul 10 kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke KL. Disini lah memikatnya negara tetangga. Sarana-dan prasarana yang lebih baik dari negeri sendiri memberikan kenyamanan lebih saat mengadakan traveling. Saya bayangkan 3-4 jam kedepan akan menyusur jalan tol yang lengang dan mulus. Beberapa kali mata terpejam dan berulangkali canda mewarnai perjalanan. KL here we come (again).