Belum Ada Kata Jaya di Jayapura

By Be Samyono (15042010.08-30)

Lima tahun lalu saat saya berkesempatan untuk mengunjungi propinsi paling barat Indonesia, Nangro Aceh Darusallam.  Perasaan saya begitu girang dan tak sabar hari itu datang.  Cerita tentang ketakjuban serambi mekkah ini layaknya dongeng di telinga saya.  Terlebih saat itu baru genap 1 tahun propinsi di ujung barat ini bangkit dari peristiwa tsunami yang berkategori bencana dunia. Suatu kesempatan luar biasa bisa mengunjungi propinsi paling ujung timur ini.  April tahun lalu kesempatan tak diduga datang untuk mengunjungi propinsi paling timur Negeri ini, Papua.  Meski sama-sama untuk urusan kerja namun ternyata perasaan saya tak sama saat menerima tawaran ini.  Meskipun Bunda Sophie yang telah 2 kali kesana dan selalu memaparkan keindahan propinsi ini namun perjalanan udara selama 8 jam membuat nyali saya mengecil.

Saya bisa jadi termasuk orang yang suka jalan, penikmat keindahan terutama laut dan landscape kota.  Saya bisa merelakan apapun untuk sekedar bisa jalan.  Satu bakat yang terlihat menurun pada anak kami.  Namun bila dihadapkan dengan perjalanan udara, tunggu dulu.  Perjalanan ke Jogja atau Singapura selama 1,5 jam sudah terasa begitu lama dan mengerikan.  Apalagi 8 jam, di waktu malam!.  Saya seperti kehilangan selera untuk kepergian ini. Tak kurang akal Bunda Sophie memberikan pil kina untuk jaga-jaga terhadap malaria serta antimo.  Ide yang bagus, pikir saya.  Saya tidak pernah mabuk perjalanan namun antimo ini saya rasa akan bisa menyenyakkan saya selama perjalanan.

Saat check in di counter garuda saya memperoleh informasi, pesawat GA yang saya tumpangi akan dua kali transit di Makasar dan Biak.  Sembari menunggu boarding pukul 20.50 saya bergegas ke executive lounge Bank Mandiri untuk charging blackberry dan mencari kesempatan meminum antimo saya, dua pekerjaan penting yang tak boleh saya lewatkan malam itu.  Televisi ramai menyiarkan penangkapan Susno Duadji yang terjadi sorenya.  Saya menyimaknya tak lebih dari melihat tayangan sinetron. Menggelikan.  Saya lebih tertarik untuk menelephon Sophie dan Bundanya.  Sophie mengerti keberangkatan saya dan dia hanya menginginkan saya membawakan buku tempel-tempel sepulang saya nanti.  Satu rule, saya tidak akan menyebutkan kepergian saya dengan pesawat terbang, karena sudah pasti dia tak akan merelakan saya berangkat ini tanpa keikutsertaannya.

Pesawat Boing 737 800 berisikan beberapa orang air crew setengah umur ramah menyambut kami yang rata-rata adalah pejabat daerah, expatriat dan pekerja tambang.  Saya duduk nyaman di kursi 8B.  Saya selalu bilang kursi pesawat didesain menganut badan saya yang kecil ini, jadi permintaan  maaf sedalamnya bila ada yang mempunyai badan lebih besar dari saya.  Tak berapa lamapun akhirnya saya tertidur dan terbangun saat mendarat di makasar.  Terulang kembali saat mendarat di biak dan kembali terulang saat akan mendarat di Jayapura.  Gangguan yang saya dapatkan hanyalah kegiatan pramugari yang membagikan makanan di dini hari.  Selebihnya antimo memang benar-benar bisa melelapkan saya.

Menjelang pendaratan di pelabuhan Udara Sentani nampak gugusan lebatnya hutan dan luasnya danau sentani begitu menawan berbaur dengan kabut pagi.  Keindahan terelok yang tak terkatakan.  Saya bisa mengamini bahwa surga memang diletakkan di bumi ini.  Sayang pengaminan saya sepertinya sesaat terucap.  Saat pintu pesawat terbuka kekontrasan menyeruak.  Realitas dihamparkan.  Jayapura bukanlah kota yang indah.  Tak lebih dari kota-kota pelosok di pulau jawa yang tertinggal dan tak terawat.  Kesimpulan yang ingin saya katakan bukanlah suatu kritik tapi satu keprihatinan.  Bagai melihat kilau permata yang terbuang di kubangan.  Bukan waktu yang singkat untuk menjuk siapa yang bertanggung jawab tentunya.

Tak bisa dipungkiri bagaimana indah dan uniknya Danau Sentani, eloknya pahatan teluk yang menebarkan gugusan pulau kecil di hamparan pantai jayapura serta kontur pegunungan yang menakjubkan. Namun kembali itu serasa memprihatinkan bila dibandingkan dengan kondisi tata kota, kemajuan, sarana dan prasarana serta perawatan kota yang sangat minim.  Dan bukanlah hal yang murah untuk mendapatkan kebutuhan pokok disana. Tak dibantah, bagi saya ini bukanlah kota yang saya inginkan dan akan saya pertanyakan bagaimana saya bisa menikmati hidup disini.  Satu satunya kondisi yang membuat saya mampu mempertimbangkan adalah keragaman masakan asli papua yang sangat beragam dan kaya rasa.  Bahkan rasa kakap merah bakar yang saya santap dalam porsi besar disana belumlah tergantikan hingga sekarang.

Tiga hari tinggal di hotel Matoa saya mencoba meresapkan semua pengalaman dan kehidupan kota ini dalam nadi saya.  Sayangnya kemauan saya menolaknya.  Pagi buta dihari ke 4 saya mengakhiri perjalanan di kota ini.  Berita tentang perang suku, pertikaian di perbatasan dan penembakan serta pesawat jatuh  seakan masih terus menjadi santapan harian selama disini, ditengah kondisi yang kita sebut kemerdekaan ini.  Dalam perjalanan di pesawat saya memikirkan kondisi disana, mengibaratkan melihat orang kelaparan di lumbung sendiri.  Lapar akan kemajuan yang belum sepenuhnya diberikan.

Please follow and like us:
Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmail

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *