Tanjung Pinang Bukanlah Pangkal Pinang

By Be Samyono [06092011-23.08]

Sesaat sebelum boarding dengan pesawat Sriwijaya Air awal September lalu di terminal 1 Bandara Sutta saya sempat kecewa.  Saya memikirkan Pangkal Pinang saat saya menerima kesempatan mengajar kali ini.  Saya bayangkan setidaknya saya akan bertemu dengan pantai berpasir putih dan gugusan bebatuan koral yang menjulang.  Persis gambaran film laskar pelangi yang fenomenal itu.  Bahkan bila mungkin saya akan ekstent untuk sekedar mengeksplore kota ini hingga Bangka dan Belitung.  Saya Salah besar.  Di Tiket yang diberikan organizer tercantum Tanjung Pinang bukan PANGKAL PINANG!.

Tak hanya kepanikan karena saya akan menuju tempat asing tapi juga kekecewaan karena peralatan pantai yang telah saya bawa sepertinya akan sia-sia.  Keterkejutan saya bertambah karena ternyata Tanjung Pinang adalah kota kecil di Pulau Bintan yang terletak di sebelah Batam. Kalau begini ceritanya mungkin hal lain yang saya bawa.  Passport misalnya, setidaknya saya bisa melarikan diri ke Singapura.  Panggilan Boarding kini malah terdengar bagaikan satu ejekan atas keteledoran saya.

Beruntung menu penyambutan malam ini cukup menarik.  Ikan segar sebagai komodoti lokal pulau Bintan menjadi penawar suasana mencekam saat pendaratan tadi.  Saat diatas pesawat hati saya sudah kecil melihat cuaca hujan deras dan kilat yang tak berkesudahan.  Malah sempat diumumkan bahwa pesawat akan didaratkan di Batam bila kondisi cukup rawan.  Bila ini terjadi bisa ditebak akan makin panjangnya perjalanan yang kami tempuh.  Belum lagi jadwal mengajar besok.  Entah apa yang terjadi.

Hari telah larut saat saya masuk di Hotel Plaza.  Agak kurang menyamankan saya.  Komplek Bintan Plasa ini telah pudar dari masa jayanya.  Hotel yang dulunya adalah sebuah mall menyediakan fasilitas minim meski soal WIFI kita bisa berfoya2.  Pemandangan kanan kiri menyisakan ruko-ruko kosong atau berubah fungsi sebagai tempat karaoke murahan, tempat pijat ataupun rumah sarang wallet.  Konon tempat ini pernah berjaya saat Batam dan Bintan terbuka untuk tempat perjudian dengan segala bisnis kotor runtutannya.  Begitu pemerintah daerah menghentikan operasionalnya maka Bintan tak ubahnya bagai bunga yang luruh.

Tak banyak yang bisa dilakukan saat tugas mengajar usai.  Informasi minim membuat google menjadi tempat bertanya yang tepat.  Sedianya Batam akan menjadi tempat tujuan.  Namun tujuan kapal yang tidak merapat di Batam Center membuatku mengurungkan niat.  Demikian juga dengan Lagoi. Resort premium di ujung pulau ini tidak bisa dicapai dengan mudah dengan kendaraan umum, alamat saya tak bisa mengunjunginya. Hasilnya saya hanya mencoba membunuh waktu dengan keluar hotel menyewa ojek untuk mengantar saya keliling kota yang kecil ini hingga pelabuhan utama.

Namun mungkin inilah keajaiban sesuatu yang tak terencana.  Dari tukang ojek banyak tergulir informasi tempat2 yang menarik dikunjungi bahkan tidak itu saja dia bersedia untuk mengantar dan member petunjuk. Nah!.  Sepertinya petualangan dimulai.  Sayapun mengatur waktu untuk mengunjungi tempat-tempat yang disesuaikan dengan keterbatasan waktu yang ada.  Pilihan pertama saya adalah ke pulau Penyengat dan tengah hari kemudian akan meluncur ke pantai Trikora.  Semangat saya terbakar, meski saya harus meninggalkan banyak barang yang biasanya saya bawa kesana kesini.  Tas, kamera dan jaket serta celana renang adalah barang terminim yang sanggup saya bawa. Lupakan sunblock, topi bahkan sisir sekalipun.

PULAU PENYENGAT

Pulau Penyengat adalah sebuah pulau kecil yang berjarak kurang lebih 6 km dari Kota Tanjung Pinang, pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini berukuran kurang lebih 2.500 meter x 750 meter, dan berjarak lebih kurang 35 km dari Pulau Batam. Perahu bot atau lebih dikenal bot pompon adalah transportasi menuju kesana. Dengan menggunakan bot pompong, memerlukan waktu tempuh kurang lebih 15 menit dengan tariff 5 ribu sekali jalan.  Perjalanan menggunakan pompon tak kalah menarik. 20 orang akan menjejali perahu kecil ini dan tak akan berangkat bila jumlah kurang dari itu.  Demikian juga saat kembali nanti.

Begitu merapat di Pulau Penyengat di gerbang utama telah disambut oleh Masjid raya sultan Riau yang konon terbangun dari campuran putih telur.  Beberapa orang menawarkan transportasi yang biasa digunakan disana, sepeda dan becak motor.  Saya memilih sewa becak motor yang akan membawa saya keliling pulau mengunjungi obyek2 yang ada dengan hanya merogoh 25 ribu.  Pengemudi yang membawa saya tak ubahnya seperti seorang pemandu wisata yang tahu jalan dan arah serta tempat mana yang harus dilewati d jalan kecil turun naik dan berkelok ini agar semua tempat bisa terkunjungi.  Saya menjadi teringat akan wisata di Johor Bahru Malaysia yang kebanyakan berupa makam dan makam. Dan nyata rumpun melayu masih mengkaitkan silsilah Johor dan riau.  Selama hampir satu jam satu-persatu obyek saya kunjungi. Mulai dari benteng, makam, kantor hingga gedung pertemuan yang kesemuanya adalah peninggalan budaya melayu termasuk makam Raja Ali Haji pencipta Gurindam 12, pahlawan nasional kita.  Dan perjalanan berakhir di Masjid raya Sultan Riau yang masih terawat termasuk adanya Al Qur’an kuno didalamnya. Luar biasa pantas bila pemerintah mencalonkan ke UNESCO untuk dijadikan salah satu Situs Warisan Dunia.  Hampir tengah hari saya meninggalkan pulau diiringi dengan music melalu yang mengalun dari rumah hajatan di samping Masjid.  Terasa sangat berbeda berada di  pulau kecil ini.

PANTAI TRIKORA

Kembali ke Tanjung Pinang saya menelepon ojek saya untuk menjemput saya untuk membawa saya ke Pantai Trikora.  Saya sempatkan makan Roti cane dan gulai kambing makanan yang banyak dijumpai disana.  Matahari belum tergelincir ke barat saat saya mulai duduk di boncengan tukang ojek saya.  Panas menyengat dan debu jalanan menyerbu kulit.  Saat itu pikiran saya hanya membayangkan pantai. Menjauhkan betapa menyengsarakannya duduk sejauh 35 Km di belakang boncengan motor.  Panasnya pantat saya terbayar saat mendekat ujung pantai yang memanjang.  Saya benar-benar kegirangan menyaksikan hamparan pantai memanjang di sisi barat Pulau ini yang sangat eksotik.  Tidak saja ombak setinggi 2 meter yang menerjang tapi juga gugusan batu batu koral yang memberi manik-manik pada bersih dan birunya pantai ini.   Konon Trikora diambil dari kata CORAL yang menjadi cirri pantai ini.  Saya tak sabar untuk meminta motor berhenti namun tukang ojek itu mencegah.  Dia menyarankan agar kita berjalan hingga ujung pantai yang mungkin hingga 5 KM lagi dan dari sana akan kembali.  Bila ada spot menarik dia tak keberatan untuk berhenti mengambil photo atau sekedar menikmati pantai. Saya hanya terbengong saat dikatakan ini baru ujungnya, saya segera menyetujui saran tukang ojek itu.  Pati banyak hal yang lebih mencengangkan didepan sana pikir saya.

Ternyata saya tidak salah.  Sepenjang perjalanan tak sadar beberapa kali saya berteriak kegirangan dan tak henti hentinya memberikan komentar kekaguman.  Baru kali ini saya mendapati pantai yang sedemikian bersih dan eksotiknya. Sampai sampai saat diujung perjalanan saya tak sabar untuk mengekspoler pantai yang penuh dengan bebatuan koral raksasa dan mengakhirinya dengan berenag disana. Ini hal yang lebih dari kata puas bagi saya.  Sayang sekali perjalanan ini saya lakukan sendiri.  Hingga terasa kurang lengkap kepuasan ini dibagikan.  Beberapa photo kembali saya ambil dan saya menyudahi permainan saya sebelum matahari condong.  Di jalur balik beberapa pantai yang menarik juga kampung-kampung nelayan menjadi obyek menarik utuk diphoto.  Bila mungkin saya akan meminta agar sore terlambat datang.  Supaya saya lebih puas menikmati keindahan fenomenal ini.

Menjelang maghrib saya sampai di hotel.  Uang 150 ribu saya berikan dari 75 ribu yang diminta. Saya benar-benar mengucapkan terima kasih telah dibantu menikmati perjalanan menarik ini.  Saya lihat kulit saya terbakar dan dipastikan akan menghitam hingga beberapa bulan kedepan.  Saya tak peduli selama ada PANTAI yang selalu bisa saya nikmat!

Please follow and like us:
Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmail

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *