By Be Samyono [21052020.21.21]
Pertama saya datang ke Jakarta dua puluhan tahun lalu mendapati kenyataan bahwa segalanya serba mahal di sini kecuali satu hal, yaitu nyawa manusia. Bila menyangkut material dan jasa semua berbandrol harga dan tidak gratis. Tapi tidak dengan nyawa manusia. Kemasa bodohan dan ketidak pedulian akan keselamatan dan nyawa orang lain seakan menjadi nilai yang umum dijalankan. Kondisi covid19 belakangan ini pun, terasa kental gambaran itu. Tidak saja di Jakarta tapi hampir seluruh negri ini. Entah karena bodoh, pura pura bodoh atau masa bodoh dalam menyikapi pandemic yang jelas ini krisis global.
Dua hari ini jumlah orang yang terinfeksi melonjak tinggi menembus periode-periode sebelumnya. Padahal empat hari sebelumnya telah mengalami penurunan. Rekor jumlah orang teriinfeksi hampir mencapai 1000 orang perhari. Miris. Namun tidak heran bila ini jadi buah yang harus dipetik. Dalam minggu ini jalanan sudah tak beraroma PSBB, pasar sudah sesak berhimpit, pemudik berbondong pulang tanpa beban, mall-mallpun sudah berjejal tak lagi takut ajal. Masyarakat punya berbagai alasan mengabaikan PSBB. Selain kejenuhan, lebaran menjadi kata sakral yang pantang diabaikan.
Kondisi anomaly belakangan ini tak lagi membuat logika berjalan sempurna. Lebaran masih dianggap tetaplah sama dengan keharusan berbaju baru dan pulang mudik. Tak lagi terpikir ritual tahunan ini menjadi potensi besar sebagai bom waktu penyebaran covid dengan lebih massif lagi. Terlupakan sudah tanggung jawab diri untuk tetap mematuhi protokol kesehatan, terlebih lagi tanggung jawab terhadap keluarga dan sanak saudara bahwa dirikita bisa menjadi perantara yang akan membuat kita dalam sesal.
Begitu susahkan kita memahami arti konsep sederhana untuk bersama melawan virus ini dengan stay home?. Setidaknya bila kita bersama peduli secara serentak stay home setengah bulan saja mungkin tak akan berlarut seperti ini. Akan sia-sia pengorbanan waktu dan berbagai hal ketidak warasan selama stay home bila toh pada akhirnya ketidak disiplinan untuk menjadi ujung yang tak pernah disepakati. Hingga akan berakhir sampai kapan! Bahkan saya perkirakan setelah lebaran akan menjadi satu ledakan massif yang bisa jadi akan sangat kita sesali.
Bahkan mau tak mau kita harus sadari virus ini tidak serta merta akan hilang begitu saja. Butuh waktu dan proses yang lama. New normal akan menggiring kita pada pemikiran dan attitude yang kembali mau tak mau harus kita ubah. Kedisiplinan dan kepedulian akan menjadi kunci utamanya. Akankah kita akan sampai kesana dengan perspektif lebaran yang masih dilakukan tadi? Setidaknya bila kita tak mampu untuk membuat keadaan lebih baik dengan kontribusi kita, jangan diperburuk dengan tindakan yang hanya mengedepankan ego hinngga kerugian tak terhitung ditanggung secara komulatif. Bagaimanapun yang kita hadapi adalah nyata adanya meski selalu kita sanggah karena tidak kasatan matanya.
Yang perlu kita lakukan adalah menjadi warga +62 yang logis, peduli dan paham bagaimana menjadikan kondisi pandemic ini bisa bersama di hadapi dengan kekompakan dan kedisiplinan. Kita bangsa yang besar. Alangkah malunya bila kita selalu menjadi contoh buruk negara tetangga yang lebih dahulu bisa memerangi wabah ini. Negeri kita tak memerlukan banyak kata tapi aksi nyata. Jangan bebani keluarga, masyarakat bahkan negeri ini dengan pemikiran dangkal dan komentar komentar murah tak berpendidikan. Lupakanlah baju lebaran karena itu sama sekali tidak akan kita perlukan bila menjadi suspect dan harus dirawat di ruang isolasi!. Dan terakhir janga biarkan bara kebajikan dan semangat perubahan pada akhirnya luluh dengan kalimat dalam tagar : #indonesiaterserah!.





