2 Januariku (catatan ayah)

By Be Samyono (02022010-20.49)

Tak ada keajaiban bagi saya selain melihat Sophie tumbuh dengan segala kebisaannya serta berkembang dengan segala sifat dan raga yang mencerminkan paduan antara saya dan bundanya. Bundanyalah yang mengisi ragawinya dengan kecantikan, kulit putih dan daya tahan tubuh yang luar biasa. Sementara banyak sifat dirinya yang merefleksikan sifat kecil saya seperti banyak omong, keras kepala, sensitif, smart dan amat sangat kreatif. Paduan yang membuat kami sebagai orang tua tak perlu lagi memperebutkan kehakikian kemiripannya dengan kami. Karena bagaimanapun kehadiran dia di sisi kami sudah lebih dari kata rahmat yang harus kami syukuri dan kami pertanggungjawabkan.

Tepat 2 januari kemarin genap 2 tahun usia Sophie. Seperti tahun lalu, ulang tahunnyapun diadakan di Jogja dan Jakarta. Bedanya tahun lalu ulang tahun di Yogya harus di dahului dengan sakit panas karena tumbuh gigi, semeantara kali ini ulang tahun di Jakarta justru yang harus diundur karena sophie kelelahan selama roadshow pulang kampung dan tertularnya virus yang menyerupai cacar air selama 3 hari. Meski Sophie sangat antusias untuk menyambut acara tiup lilinnya namun dengan terpaksa saya meminta bundanya untuk memundurkan acara. Karena bagaimanapun saya ingin Sophie bisa nyaman dan menikmati acaranya sendiri dan bukan menuruti keingina keluarganya semata.

Tak dapat dipungkiri usia 2 tahun sophie merupakan waktu yang menjungkir balikkan kesabaran dan emosi saya sebagai orang tua dalam mendidiknya. Jika sebelumnya saya cukup tenang bagai memainkan layang-layang dengan kendali ditangan, kini semuanya serba labil. Tak hanya layang-layang itu sendiri yang sudah punya kemauan namun anginpun memberi kemungkinan bergoyang. Kini Sophie bukan lagi baby yang bisa digendong dan di arahkan kemana kita mau. Adanya keinginan, kemauan dan segala akal serta upayanya membuat semuanya harus di negosiasikan dan dikomunikasikan dengan tepat. Bukan itu saja pengaruh lingkungan dan keluarga dalam rumah sangat memberi andil yang cukup besar bagi pertumbuhan dan daya nalarnya.

Mungkin sesal saya dialami juga oleh hampir semua orang tua. Kondisi kerja, lingkungan kota dan aktifitas membuat kita sebagai orang tua tidak bisa lagi mendidik dan merawatnya selama 24 jam penuh. Tanggung jawab itu dengan terpaksa harus terbagikan. Mungkin kami beruntung karena Kakek-Nenek Sophie cukup sehat dan mampu untuk mengambil tanggung jawab itu. Namun bagaimanapun kondisi ini cukup berat karena kembali pola asuh dan pendidikannya di rumah harus dikompromikan dengan cara-cara orang tua kita yang bisa jadi kurang tepat untuk masa sekarang. Saya sendiri sadar bukanlah pendidik yang sempurna untuk Sophie. Saya hanya selalu berusaha menyempurnakan di tengah keterbatasan saya dan Bunda Sophiepun tak kurang berupaya juga mendukung pola asuh yang kami sepakati. Kami tak ingin timpang dan bersebrangan dalam menerapkan policy bagi Sophie.

Masih segar dalam ingatan saya bagaimana saya mengajari Sophie untuk tidak takut terhadap apapun, seperti listrik mati, serangga, hantu atau hal-hal yang tak masuk akan lainnya. Segalanya berjalan lancar namun belakangan ini kadang kala ketakutan itu muncul. Usut punya usut hal ini terjadi karena dia menirukan reaksi sepupunya yang selalu di takut-takuti apapun oleh orang tuanya untuk meredam kenakalannya. Pun ketika kami mengajarkan dia untuk tidak memakai bahasa tangisan atau rengekan bila meminta sesuatu terlebih dengan paksaan. Semuanya berjalan lancar namun belakangan kami cukup dipusingkan dengan kecengengan Sophie. Kembali usut punya usut ternyata dia suka digodain oleh orang rumah. Mungkin terbilang remeh seperti mau ditinggal pergi, digoda saat asyik nonton dan sebagainya. Bisa dibilang lucu mendengar rengekan anak kecil namun amat sangat tidak lucu bila hal ini mengubah tabiatnya menjadi cengeng. Kasihan nantinya.

Saya sendiri cukup keras untuk mengajar Sophie mandiri dan Bundanyapun sepakat untuk itu. Bahkan di umur 2 tahun sophie tahu memilih baju dan memakainya, menyalakan DVD yang akan di tontonnya, menyikat gigi juga merapikan mainannya. Saya pernah di protes bahwa ini “memperbudak” anak. Namun saya bantah karena semua tindakan ini adalah untuk membentuk habit. Bila semuanya terbiasa maka akan otomatis menjadi budaya positif. Bahkan harusnya orang tua bangga anak bisa mandiri tanpa tergantung pada siapapun. Ternyata hal ini kadang sulit dipertahankan karena rasa kasihan atau sayang dari orang rumah membuat dia harus diladenin terus menerus. Akibatnya habitnya terbengkalai dan anak mulai tergantung pada orang tua. Rasa sayang seharusnya justru akan memandirikan bukan menjerumuskan.

Terlepas dari itu semua kami belajar dan berfikir positif. Dunia anak tidaklah selalu steril bisa orang tua kendalikan, justru keragaman pola asuh ini benar-benar jadi warna dan bisa dikomunikasikan ke anak hingga anak tahu mana yang tepat dan tidak untuk dirinya. Pun mengenai prilaku anak, yakinilah bahwa anak harus diperkenalkan dengan berbagai macam hal, makanan dan aktifitas. Bisa jadi hari ini dia menolak namun usahakan untuk tak jera memperkenalkan dan mencobakan hal tersebut pada anak. Saya hanya bisa berfikir logis saja bahwa masa-masa ini anak harus punya bekal, harus tahu banyak dan mencoba semua pengalaman hingga satu saat dia bisa tepat memilih untuk dirinya. Satu pilihan yang benar-benar dia inginkan hasil dari “pengalaman”nya, bukan karena ingin kita atau mau kita sebagai orang tua belaka. Kembali harus disadari bahwa dia bersama kita, bukan untuk jadi milik kita … namun menjadi tanggung jawab kita untuk menjadikan dia seperti dirinya.

“Anakku .. Tiada doa kami kecuali untuk harapan akan terbekati segala langkah dan pintamu, dan selalu tercukupkan bekal yang kami beri”

Amien!

Please follow and like us:
Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmail

You may also like

1 comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *