By Be Samyono (06022013-17.46)
Menikmati perjalanan di Jakarta tak ada yang lebih nikmat selain dilakukan dengan TIDUR!. Perjalanan mencapai satu lokasi yang berlipat waktu yang dibutuhkan di jam kerja membuat waktu seakan terbuang. Tidur adalah investasi waktu dan akan ditebus di rumah dengan tidur larut untuk menyelesaikan ini dan itu. Inilah Jakarta. Saya masih ingat tahun 97 an saya menjadi Biker di Surabaya. Kemacetan yang tak separah Jakarta dan kepadatan kendaraan yang tidak over membuat saya lebih nyaman untuk bermanuver serta merasa aman untuk berkendara. Namun melihat jalan di Jakarta. Sepertinya keinginan untuk menjadi Biker jauh hari cepat-cepat saya urungkan.
Banyak alasan kenapa menjadi Biker di Jakarta menjadi momok bagi saya? Kepadatan jalan adalah hal pertama yang saya pikirkan. Bukan ngeri dengan banyaknya sepeda motor tapi lebih ngeri dengan perilaku berkendara yang luar biasa ajaib di jalan. Tak sekali saya jumpai pelanggaran lalu lintas serta adu mulut diantara para pengendara. Ini yang membuat nyali saya ciut. Dan hal kedua yang saya pikirkan adalah tempat parkir. Beberapa gedung tak ada tempat parkir, kalaupun ada seringkali mirip jebakan. Bisa masuk dan tak bisa keluar. Duh!. Dan semua ini diperparah dengan cuaca jakarta yang panas yang akan menambah lelehan keringat bercampur debu setiap harinya. Akibatnya dulu saat di rumah ada Supra X yang dibeli 7 tahun lalu, argometernya masih menunjukkan angka di bawah 1.000 KM. Paling jauh motor hanya dipakai untuk keliling komplek mengantar anak jalan.
Tapi saya akui godaan turun kejalan belakangan makin besar karena makin mengerikannya moda transport public yang ada. Kopaja bukanlah angkutan yang manusiawi dan tidak setiap tempat bisa terjangkau angkutan public selain taksi. Tentu ini sesuatu yang cukup merepotkan. Kembali motor menjadi pilihan utama bila berfikir soal kepraktisan. Godaan ini semakin berlipat semenjak mencuatnya era matik pada motor yang kembali menawarkan kemudahan dan penghematan tenaga di jalan yang penuh kemacetan. Jujur saya tergoda.
Godaan saya berujung pada Vespa Piagio LX 150 ie rosso dragon (warna merah). Jelas saya meletakkan pilihan ini pada modelnya yang klasik dan tidak pasaran selain menggali keinginan lama saya yang selalu terpendam untuk punya vespa karena cara kerjanya yang dulunya berkopling di tangan. Saya bukanlah orag yang suka mengotak-atik motor baik aksesoris maupun mesinnya. Sebagai user jelas saya hanya menitik beratkan pada style dan kemudahan menggunakan. Walaupun pada akhirnya asmara saya ini harus ditebus dengan harga vespa yang bisa 2x bila membeli motor matik biasa.
BEGO STYLE
Tak saya sangkal sejak si Red dragon ini mangkal di garasi saya argo meter belumlah sampai 200km. Dan baru 2x saya mengisi pertamax. Paling sering saya hanya menggunakan untuk putar2 komplek bersapa anak dan selebihnya bermain tennis di sekitar Kuningan yang memakan jarak 30km pulang pergi. Namun setidaknya ada rasa PD dan special tersendiri bila mengendarainya. Mungkin karena tampilannya yang unik setidaknya banyak mata yang memandang sepanjang jalanan. Pun ketika isi bensin pasti selalu ada komentar ataupun diskusi kecil mengenainya. Menyenangkan bukan.
Sepuas-puasnya saya me-matchingkan diri dengan vespa yang membuat saya terlihat cool dan stylist ternyata itu tidak menutup kebegoan saya akan ketidak tahuan mengenai benda bergerak ini. Pernah saya kelabakan karena si red dragon tak bisa saya starter. Saya panik dan coba dorong. Alhamdulillah bisa. Namun saat berhenti turun problem ini kembali terulang. Saking kawatirnya seringkali mesin tidak saya matikan bila berhenti sesaat untuk keperluan tertentu. Sayapun berkali kali broasing di internet tanpa jawaban yang memuaskan. Lama-lama saya baru sadar dan tahu by accident bahwa problem itu muncul karena berkaitan dengan standart samping vespa. Ternyata standart samping berfungsi juga sebagai pengaman. Jadi bila distandartkan mesin hidup akan mati seketika demikian juga mesin yang mati tidak bisa dihidupkan. Oalah!
Bego style saya berlanjut saat saya mengeluh soal lampu utama depan yang tidak menyala. Di vespa ini ada 2 lampu dibagian depan. Lampu kecil dan lampu besar yang sejenis dengan lampu mobil pada bohlamnya. Lampu besar inilah yang jadi masalah. Lampu padam dan tombol sinar lampu jauh dekat di tombol kiri tak bisa berfungsi. Karena begitu saya pulang dari tennis malam hari dalam kondisi gelap saya merasa kesulitan melihat. Hanya karena kesulitan mendapatkan waktu hingga keluhan saya ini hanya saya simpan dan belum berakhir di bengkel atau dibelikan lampu baru. Hingga suatu siang tanpa sengaja tangan kanan saya menekan tombol di sisi kanan dekat starter. Alangkah terkejutnya sebuah sinar yang amat terang menyinari garasi seketika. Sayapun terbahak untuk kebegoan ini.
Belajar dari 2 kebegoan ini saya makin hati-hati bila ada sesuatu yang terjadi dengan vespa ini. Meski sebenarnya saya masih menyimpan tanda tanya besar mengenai konsumsi bahan bakar serta kapasitas tangkinya. Dalam speck dikatakan bahwa vespa mempunyai 8,5 Liter kapasitas tangki. Itu saya buktikan pada pengisian pertamax pertama. Namun saat digunakan 120 Km indikator bensin telah berada dibatas merah dan saat di isi hanya memuat 4 liter bensin. Apakah 4,5 liter merupakan cadangan di vespa? Mengapa sedemikian besar? Akh moga pertanyaan ini akan terjawab dengan sendirinya tanpa saya kembali mendapat julukan bego style.
SMART STYLE
Tak dipungkiri diluar saya vespa ini saya akui mempunyai ide2 smart yang membuat saya makin jatuh hati. Fitur-fiturnya manis dan terpikirkan detailnya. Seperti:
- Adanya GPS yang selalu berkedip di panel depan yang memungkinkan motor akan bisa terlacak bila terjadi kehilangan
- Kunci master=kunci data untuk merestore semua program pada scooter ini untuk itu kunci ini sangat vital dan jangan sampai hilang.
- Ruang bagasi yang lapang dan bisa menampung helm dan beberapa barang lainnya.
- Tampilan vespa yang stylist dan retro sangat menarik perhatian banyak orang.
- Tempat duduk yang luas dan lapang membuat nyaman saat berkendaraan jauh.
- Vespa cukup ngacir dalam kecepatan tinggi, stabil dan terasa mantap.
Namun demikian ada beberapa fitur yang ada di vespa yang ternyata sangat merepotkan bagi saya (baca ukuran body saya):
- Bobot vespa yang mencapai 150 KG adalah tantangan bagi saya untuk menggeser ataupun mendirikan standart tengah. Perlu usaha extra keras untuk melakukannya.
- Body vespa pun tergolong tinggi untuk orang asia terlebih saya jadi sangat tidak nyaman bila berkendara di tengah kemacetan dan lebih banyak berhenti untuk menopang body vespa.
- Karena cc-nya tergolong tinggi maka amat tidak nyaman bila memacu scooter ini di kecepatan rendah dan pelan2.
- Panel klakson, sign serta lainnya cukup jauh untuk jangkauan tangan orang Asia atau paling tidak saya sehingga agak menyulitkan dalam navigasi.
- Dan tentu saja dengan kondisi ini vespa bukanlah motor yang bisa dipakai dengan sesuka hati. Karena sepertinya bukan untuk segmen itu scooter ini diciptakan.
Namun demikian over all saya sangat puas dengan red dragon saya ini. Hingga tergoda untuk melengkapinya dengan aksesoris yang tentunya dalam koridor tidak norak. Namun ngomong-ngomong saya mencucikan motor ini untuk pertama kalinya. Dan tebak apa yang terjadi: saya tidak tahu cara membayarnya!.
Kalau sudah begini tidak mungkin khan saya menyewa sopir untuk scooter saya?





