By Be Samyono [27052020-21.42]
Berapa kali anda ganti pembantu dalam setahun? Bila ada survey dengan pertanyaan berapa kali anda ganti pembantu dalam setahun. Saya yakin cerita dibalik peristiwa pergantiannya akan lebih seru daripada jumlah pergantian yang disebutkan. Diawal rumah tangga saya yang kebetulan langsung dikasih momongan, dalam 2 tahun pertama sudah ganti kurang lebih 12 orang pembantu. fantastis! kalau ada netizen kreatif pasti ter-viral bahwa kami adalah majikan yang tidak berprikepembatuan!. Padahal bila di telusur kebenarannya, ceritanya bikin geleng-geleng kepala.
Saya dan istri termasuk yang berpersepsi bahwa keberadaan ATR hanya sekedar membantu pekerjaan keluarga. Artinya tidak setiap pekerjaan terbeban padanya dan ada jam kerja serta istirahatnya untuk tak diganggu. Saya pribadipun tidak menuntut agar pembantu bisa melakukan segalanya dan sempurna. Ingat saya cari pembantu bukan CALON ISTRI. Jadi kalau ingin cari pengasuh anak, cukup yang memenuhi persyaratan untuk itu. Perkara pekerjaan lain seperti beberes, setrika atau masak tak memenuhi standart saya, tak ada komplen dari saya.
Karena saya ingin melatih anak anak mandiri, sayapun lebih mendorong anak-anak tak tergantung sama ART sehingga pekerjaan pribadi akan kami selesaikan sendiri tanpa ART. Malah specialnya ART dirumah tak perlu memasak utama karena saya sendiri yang mengerjakan. Kurang enak apa hayo. Cuma bagaimanapun mendapatkan ART tidak bisa milih-milih kayak beli baju di mall. Adanya hanya cocok atau tidak dengan pekerjaan saat dia sudah datang. Kadang kita cocok dia enggak atau sebaliknya. Bahkan kadang kami gak cocockpun tetap ditahan karena kasihan. Itulah jodoh. Dan itu sangat kami pahami.
Kebanyakan kami ganti pembantu karena ulah mereka. Saya ingat ada pembantu yang selalu mabok bila naik mobil antar jemput anak, mencuri barang barang hingga sampai urusan RT, diminta pulang anaknya padahal cocok, disamperin suaminya padahal baru 1 jam sampai dan baru mau mulai kerja, suka teler minum obat batuk dan lari dari rumah karena ternyata dia sendiri juga lari dari ortunya. Belum lagi yang apatis terhadap kerjaan, tak begitu peduli anak atau ada yang lempar lemparan kerjaan dan saling mengadu domba padahal mereka berdua dari tempat yang sama. Dan paling klasik yaitu seringnya mengancam tidak balik kalau gaji tak naik atau mereka enggan kerja di rumah begitu tahu bukan rumah gedongan dan makin rewel karena membandingkan dengan temen temannya yang lain. Kenyang deh dengan semua drama. Kadang saya juga harus memejamkan mata karena mereka kadang suka membawa pulang barang atau ingin ini atau itu karena merekapun kadang juga butuh.
Bisa jadi selama ini, hanya ada 3 orang yang dianggap cukup cocok dan awet hingga lebih dari 3 tahun namun sayangnya ada yang meninggal tertabrak kereta setelah 5 bulan resign mau nikah, resign ikut yayasan pembantu karena ada maharnya dan performanya makin tidak jelas setelah menikah. Dan yang terakhir makin menjengkelkan karena tetap bersikeras dengan gaji utuh namun kerja dibatasi, suka drama dan konyolnya mengungkapkan banyak hal lewat medsos. Kamipun sebenernya tak peduli karena tidak seperti itu pada nyatanya. Namun apa yang dilakukan sudah ada di ranah pelanggaran privasi.
Kadang saya yang mencoba mengerti dari sisi pembantu, merasa kasihan dan ingin memaklumi terkait sudah lama ikut, tingkat edukasi ataupun faktor ekonominya. Namun seringkali ini tidak bisa dipahami dari pihak pembantu. Kalau sudah begini maka mungkin tidak meneruskan ikatan kerja menjadi satu pilihan utama untuk kenyamanan bersama. Lelah karena harus mencari lagi, mengulang proses pembelajaran dari awal dan segala macam pembiasaan. Namun itulah dunia per A-eR-Te-an. Satu-satunya pemakluman yang selalu saya pegang adalah: “Yah kalau mereka cukup pinter dan profesionalisme tentunya bukan A-eR-Te lah pekerjaan mereka”. Memang jalan terbaik adalah menjadikan kehidupan kita mandiri sehingga tak perlu tergantung pada orang lain. Ambil pekerjaan rutin dengan mengambil jasa perkedatangan atau perkebutuhan, guna meminimalkan problematika dari agen penyedia jasa. Orang di luar sana telah punya budaya untuk itu dan harusnya kita bisa untuk melakukan hal yang sama.
Lalu pertanyaan menggelitik saya, “Bagaimana cerita tentang A-eR-Te anda?”