Selapanan

By Be Samyono (17022008.14.14)

Eyang Ti mo datang! begitu Ayah mengabarkan pada Bunda suatu sore. Oh ya? Bundapun gembira sekaligus mengkawatirkannya. Eyang Ti telah berusia 72 tahun. Perjalanan ke Jakarta dari Jogja bukanlah perjalanan yang singkat dengan kereta. Pastinya sangat melelahkan bagi beiau. Meskinya perjalanan paling tepat dengan pesawat tapi Eyang Ti telah terlanjur takut. Dan ternyata bukan hanya sekedar untuk menegok anak cucu kedatangan Eyang Ti kali ini tapi tepatnya untuk menyaksikan upacara potong rambutku. Benar, Setelah (kurang lebih 35 hari = selapan) usiaku, di adat jawa ada yang namanya selapanan. Biasanya diacara itu dilaksanakan pemberian nama bayi. Dan supaya tidak ribet Ayah menggabungkannya dengan acara aqiqah sekaligus.

Rame deh. Tidak saja karena kedatangan Eyang Ti dan Pak Dhe Bambang tapi juga karena begitu sibuknya semua orang mempersiapkan acara ini. Tepatnya inggu 10 Februari lalu semua orang disibukkan dengan bagiannya. Mulai dari berbelanja, memasak, bikin bendera dari uang ribuan hingga mempersiapkan kepala muda tempat rambutku nanti digunting. Ayah bareng kakek sejak beberapa hari sebelumnya telah sibuk mencari kambing untuk acara ini. Dan alhamdullillah seekor kambing yang sehat bisa didapatkannya. Seperti biasa diacara seperti ini ayahlah yang banyak tanya ini dan itu. Maklum ini baru acara pertama dan ayah belum pernah melihat acara ini sebelumnya. Meski capek Ayah kelihatan bersemangat sekali dan tanpa protes mengikuti adat yang berlaku di lingkungan rumah kakek.

Sedari pagi kakek sudah menginformasikan acara nanti malam termasuk bagaimana upacara pengguntingan rambutku dilaksanakan. Dan ayah mulai keberatan,
“Hun seberapa banyak motong rambutnya,” Tanya ayah begitu kakek berlalu.
“Biasanya sih sedikit saja sebagai syarat,” jawab Bunda sembari mengganti popokku yang basah.
“Trus!”
“Ya besok baru di botakinnya”.
“Dipotong pendek kali”.
“Enggak, bener2 dikerok ananti rambutnya”.
“Yang bener, Duh kasihan sekali entar Kinan gundul deh!” Ujar ayah seakan tak terima. Ayah sudah membayangkan tak lama lagi rambutku sudah bisa dikasih jepit atau dikuncir. Tapi sekarang harus di gundul.

Acara itu akhirnya dimulai pukul 8-an malam setelah Isya. Didahului dengan pengajian dan puncaknya Ayah menggendongku keliling jemaah pengajian. satu persatu mereka memotong rambutku dan ditaruh di atas air kelapa dalam tempurung yang telah ditaburi bunga. Suara doa bertambah keras namun dengan tenangnya akau terlelap. Giliran ayah yang berkaca-kaca. Entah haru atau tak tega rambutku dihabiskan. Begitu selesai dengan para jamaah giliran Eyang Ti, Nenek, Papa dan Mama Koko juga kakek mendapat giliran. Dan aku seperti biasa masih melanjutkan lelapku.

“Dokumentasi photonya gak begitu banyak Hun”, Ujar Ayah sembari memeriksa kamera digital.
“yah maklum khan bukan Ayah sendiri yang motret,”
“Moga shootingan Oom Piq bisa dapet momennya yah,”

*******

Siang hari Bunda mengirimkan MMS ke Ayah. MMS yang berisi photo waktu aku di gundul oleh nenek, dan photo akhir kepalaku yang telah tak berambut. Bunda juga bilang dengan digundul kulit kepalaku bisa dibersihkan dari kotoran bawaan lahir. Berita terakhir lebih menenteramkan Ayah karena ternyata digundul banyak manfaatnya. Dan segera Ayah membalas SMS Bunda.

“Hun, perlu gak yah belikan Kinan Wig?”

Ah Ayah masih saja gak sabar menguncir rambutku!

Please follow and like us:
Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmail

You may also like

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *