Sebuah Hukuman dari Sophie (Catatan Ayah)

By Be Samyono (24032010-08.41)

Tak ada yang lebih menyakitkan selain menghadapi rasa penolakan seorang anak.  Saya tidak pernah membayangkan bila Sophie bisa melakukannya sedini ini.  Saya dan Bundanya mencoba memahami kondisi yang tengah terjadi, mencoba tak membebankan kesalahan namun segera berupaya mencari solusi.  Keyakinan kami cukup sederhana.  Tak ada permasalahan yang tidak bisa dipecahkan.  Itu saja.  Dan lebih jelasnya kami tak ingin terlambat dan  memdapat rasa bersalah yang akan kami tuai nantinya.

Tak disangka bulan Maret ini jadwal saya dan jadwal Bunda begitu padat.  Beberapa kali kami tak bisa pulang tepat waktu.  Kadang larut dan seringkali tiba disaat Sophie sudah tidur.  Meskipun ada waktu 2 jam dipagi hari untuk bersamanya namun sepertinya tetap ada waktu kebersamaan yang kurang.  Waktu sabtu minggu biasanya kami coba memaksimalkan kebersamaan dengan dirinya, sebagai waktu kompensasi.  Mengajaknya main atau pergi yang memang khusus untuk dirinya.  Harapannya Sophie bisa melihat kondisi ini lebih proporsional dan dia sama sekali tidak merasa di nomor duakan dibandingkan pekerjaaan kami.  Karena kami telah mengajarkan pengertian kenapa kami harus meninggalkannya dan bekerja.  Kembali ternyata semua ini belumlah cukup.

Puncaknya minggu lalu saat kami harus ke Jogja untuk menghadiri pernikahan saudara yang mendadak dimana kemungkinan untuk mengajak Sophie amat tidak memungkinkan.  Kamipun pergi disaat Sophie tertidur lelap kelelahan karena kami mengajaknya jalan-jalan dahulu untuk menghabiskan waktu bersama dia sebelum keberangkatan.  Benak kami mengkawatirkan bahwa sophie akan rewel dan mencari-cari kami.  Untuk itu kamipun berupaya selalu kontak dengan dia lewat telpon guna memantaunya.   Kami bayangkan saat kami pulang dua hari kemudian kami akan melihat Sophie berlari riang ke arah kami dan lengket takkan mau melepaskan.

Moment kepulangan kami sama sekali jauh dari bayangan kami.  Dia memandang kedatangan kami dengan biasa saja, perhatiannya lebih ke arah pesawat terbang.  Malah dikiranya dia akan pergi dengan pesawat saat menjemput kami.  Dan ternyata penolakan lainnya berlanjut. Malamnya dia tak menginginkan untuk tidur bersama kami.  Dia lebih memilih untuk tidur di luar kamar bersama nenek.  Dan semua dilakukannya dengan menangis.  Saat itu saya merasa hampa.  Terkejut sekaligus putus asa.  Saya tiak pernah membayangkan Sophie menjauh dari kami.  Logikanya bila seorang anak ditinggal oleh orang tuanya dia akan merindukan tapi Sophie mengambil sisi yang berbeda.  Saya merasa seperti dihukum.

Biasanya saya akan segera emosi untuk menanggapi hal-hal seperti ini, seperti induk ayam yang mulai bertaji mempertahankan teritorialnya. Namun hukuman ini terasa menyentak.  Saya hanya bisa berkata lirih pada Bunda Sophie.  “Bunda, ada sesuatu yang salah.  Kita harus segera memperbaikinya,”  Bunda hanya mengangguk pelan, diikutinya Sophie yang menangis keras sambil keluar kamar mencari neneknya.  Digendongnya dan diserahkan ke saya.  Bunda menemui nenek dikamarnya untuk tidak keluar dan mengulurkan bantuan.  Kami bujuk Sophie mengatakan nenek sudah tidur.  Saya tahu Sophie akan menerima semua alasan bila logis dan dia bisa buktikan.  Meski tangisnya tak reda tapi dia menuruti kata kami.  Malam itu dia tidur bersama kami dengan sesenggukan.  Kami tidak bilang kami memangkan hukuman ini karena jauh dari itu  masih ada pekerjaan rumah yang cukup berat untuk bisa meyakinkan Sophie.  Meyakinkan bahwa keberadaannya mempunyai arti lebih dan tak ada pengabaian atas keberadaannya.

Saya tahu akan sulit mengasuh anak dalam 2 kendali.  Seperti halnya kami yang menyerahkan sebagian besar asuhan Sophie pada Kakek & Neneknya.  Beruntung Kakek & Nenek Sophie cukup kooperatif dalam menerapkan pola asuh.  Namun demikian sangat manusiawi ada perbedaan aturan dan cara.  Sejauh itu terkontrol saya selalu meminta Bunda untuk memakluminya.  Satu hal yang penting untuk menanamkan kepada anak akan perbedaan pola asuh ini sehingga dia tahu akan keragaman lingkungan. Namun saat sesuatu yang tidak bisa di kontrol muncul.  Mungkin peran pengertian untuk bisa mengkomunikasikan dan memahami akar permasalahan untuk mendapatkan solusi amat sangat diperlukan.  Utamanya kerjasama pihak pengasuh sangat penting.

Bisa jadi ini satu problem yang jamak terjadi dalam keluarga modern dimana proses pengasuhan anak tidak bisa di tangani sepenuhnya oleh orang tua.  Kita harus berbagi proses asuh kepada orang tua ataupun kepada tenaga profesional seperti baby sitter.  Masalah seringkali muncul saat anak-anak mulai dekat dengan mereka daripada dengan orang tua.  Pengabaian inilah yang bisa di cerna secara beragam.  Mungkin ini akan berlangsung temporary atau malah selamanya tergantung keinginan kita sejauh mana mengembalikan peran kita sebagai orang tua.  Saya dan Bunda belum bisa memastikan apakah kami bisa segera keluar dari hukuman ini segera. Namun setidaknya kami tidak ingin ini berlangsung lebih lama lagi.  Terlebih hanya memberikan kata jangan dan jangan kepada Kakek dan Nenek yang over perhatian kepada Sophie.  Saatnya kami harus memberikan satu bukti kepedulian dan saatnya kami memberikan esensi lebih dalam menerapkan pola asuh apa lagi kalau bukan KETELADANAN.  Moga langkah ini kembali menyatukan kami.

Please follow and like us:
Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmail

You may also like

2 comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *