Selapanan

Eyang Ti mo datang! begitu Ayah mengabarkan pada Bunda suatu sore. Oh ya? Bundapun gembira sekaligus mengkawatirkannya. Eyang Ti telah berusia 72 tahun. Perjalanan ke Jakarta dari Jogja bukanlah perjalanan yang singkat dengan kereta. Pastinya sangat melelahkan bagi beiau. Meskinya perjalanan paling tepat dengan pesawat tapi Eyang Ti telah terlanjur takut. Dan ternyata bukan hanya sekedar untuk menegok anak cucu kedatangan Eyang Ti kali ini tapi tepatnya untuk menyaksikan upacara potong rambutku. Benar, Setelah (kurang lebih 35 hari = selapan) usiaku, di adat jawa ada yang namanya selapanan. Biasanya diacara itu dilaksanakan pemberian nama bayi. Dan supaya tidak ribet Ayah menggabungkannya dengan acara aqiqah sekaligus.

Rame deh. Tidak saja karena kedatangan Eyang Ti dan Pak Dhe Bambang tapi juga karena begitu sibuknya semua orang mempersiapkan acara ini. Tepatnya inggu 10 Februari lalu semua orang disibukkan dengan bagiannya. Mulai dari berbelanja, memasak, bikin bendera dari uang ribuan hingga mempersiapkan kepala muda tempat rambutku nanti digunting. Ayah bareng kakek sejak beberapa hari sebelumnya telah sibuk mencari kambing untuk acara ini. Dan alhamdullillah seekor kambing yang sehat bisa didapatkannya. Seperti biasa diacara seperti ini ayahlah yang banyak tanya ini dan itu. Maklum ini baru acara pertama dan ayah belum pernah melihat acara ini sebelumnya. Meski capek Ayah kelihatan bersemangat sekali dan tanpa protes mengikuti adat yang berlaku di lingkungan rumah kakek.[…….]

Continue Reading

You may also like

Sebulan Sudah

Bila mengotak-atik hari kelahiranku ternyata banyak hal yang menarik di temukan disana. Sebenarnya Ayah inginkan aku lahir di tanggal 1 Januari dan kalo mau pasti tidak sulit karena proses kelahiranku melalui caesar. Namun pertimbangan adat dan saran orang tua akhirnya dipilihlah tanggal 2 Januari hari Rabu. Ayah sih tak mempermasalahkannya karena keselamatan dan kesehatanku jauh lebih utama daripada maslah perhitungan hari baik macam itu. Dan ternyata tanggal 2 Januari ini punya banyak keunikan. Tanggal 2 Januari sama dengan tanggal kelahiran Eyang Jogja, juga tanggal kelahiran Tante Nung. Hari Rabu itu sama seperti hari kelahiran kakek Simprug dan Ayah tentunya. Dan uniknya bila Ayah dan Kakek Simprug punya weton yang sama maka aku dan Nenek Magetan punya weton yang sama pula. Wah! kareana banyak saudara yang jawa jadilah ini pembicaraan yang luas (karena dibahas secara panjang kali lebar). Tapi selalu saja Ayah bilang bahwa tiap anak akan punya kelebihan dan kekurangan. Tinggal tugas orang tua yang mengarahkan bagaimana kelebihannya bisa di optimalkan dan kekurangannya bisa di minimalkan. Ayah selalu sok bijak deh.

Hari ini genap usiaku 2 bulan. Siang ayah sudah menjemput aku dari kantor bersama ibu dan tante Nung untuk pemeriksaan ruti perbulan di dokter RSB Asih. Sementara Tante Rumi sudah ribut dari pagi untuk mendandaniku dengan rok baruku. Semua perlengkapankupun tak ketinggalan dimasukkan ke bas babyku. Ayah sampai terheran heran melihat bawaanku yang begitu banyak untuk 3 jam jadwalku ke dokter. Untungnya tas baby dari oom Piq2 ini bermodel hitam sederhanan layaknya tas kerja hingga tak begitu mencolok dan amat meriah penuh warna.[…….]

Continue Reading

You may also like

Ibu

Jauh dari “kehidupan Baru” dalam arti terlibat di dunia tumbuh kembang balita membuat saya mempunyai pemikiran yang praktis selama ini bahwa wanita dan pria mempunyai beban yang sama utamanya dalam merawat anak. Beban yang sama berat meski punya dimensi aplikasi yang berbeda. Saya salah! dan harus mengakui itu. Meski dibilang tanggung jawab merawat anak sama besar namun nyatanya seorang ibu mempunyai beban fisik dan psikis yang jauh lebih berat dibanding seorang ayah. Bahkan kondisi ini mulai berlangsung begitu dini saat anak mulai membentuk dirinya sebagai janin dalam rahim. Saya selama ini hanya tersenyum bila mendengar keluh seorang ibu yang memaparkan cerita betapa repotnya menyusui, mengasuh anak ataupun berada dalam kondisi hamil. Senyum saya bermakna kata”kenapa repot?” karena bagaimanapun semua itu toh hal yang natural. Hal yag lazim dan sudah menjadi tanggung jawab tak terbantahkan. Saya melihat keluhan itu bagai suatu dalih.

Enam hari ini saya berjumpa dengan “kehidupan baru” itu setelah 39 minggu saya terlibat dalam kondisi kehamilan istri saya. Saya ikut merasakan bagaimana 3 bulan pertama kehamilan merupakan kondisi yang sama-sama serba salah. Ketidakadanya pengalaman karena merupakan satu keluarga yang baru dan kondisi psikis yang terbentuk karena perubahan hormon istri menjadi pemicu dasar yang tak bisa dihindari. Meski bulan selanjutnya sudah mulai beradaptasi tapi menjelang tiga bulan terakhir sebelum melahirkan kembali kondisi itu muncul. Utamanya karena perkembangan janin yang makin besar sudah tidak bisa kembali memberikan kenyamanan fisk bagi seorang ibu. Terlebih bila dihadapkan pada kecemasan menjelang melahirkan, menjadikan situasi makin tidak konduksif.[…….]

Continue Reading

You may also like