Semangat Baru Setelah Lebaran

Mestinya hari ini Bunda mengajakku berenang seperti hari-hari minggu pagi sebelum puasa lalu. Tapi sedari pagi Bunda masih terbaring dan Ayahpun yang biasanya semangat mengantar Bunda sibuk membereskan barang-barang di bengkel kerjanya. Rupanya Ayah tak tega membangunkan Bunda karena beberapa hari ini Bunda kena Flu, dan Ayahpun baru saja pulih dari radang tenggorokannya.

Lebaran tahun ini Ayah sengaja mengurungkan niat untuk pulang ke rumah Eyang Jogja karena kehamilan Bunda. Padahal Bunda ingin sekali mudik karena belum pernah merasakan mudik sebelumnya. Mungkin Ayah tak mau pengalaman mudik pertama Bunda ini menjadikan Bunda trauma mengingat mudik bukanlah hanya sekedar mempersiapkan kegembiraan tapi juga harus didukung fisik yang prima selama perjalanan. Dan bicara fisik rasanya Bunda memang harus berfikir panjang untuk bersikeras ikut mudik. Gantinya kami akan berlebaran bersama Kakek dan Nenek Jakarta. Tak ada beda malahan mungkin Ayah bisa menikmati perannya sebagai “Suami Siaga” selain lebih berbaur dengan keluarga Bunda. Dan dari sanalah sakit Ayah dan Bunda didapat. Akibat kecapekan jalan ke Subang tempat Uyut hingga jalan ke puncak keesokan harinya. Jadilah hari libur setelah lebaran ini banyak Ayah Bunda gunakan untuk istirahat dan batallah acara photo-photo di Melrimba Puncak yang ingin Bunda lakukan. Tak perlu disesali karena lebaran tahun ini sangat terasa berbeda dan sungguh luar biasa! [……..]

Continue Reading

You may also like

Ranjau Kantong Plastik

Meski hari raya telah lewat tapi ternyata urusan belanja tetap harus dilakukan. Terlebih belanja bulanan yang selalu datang di akhir bulan atau tepatnya menjelang gajian. Seperti bulan-bulan belakangan ini, satu troli akan penuh dengan berbagai keperluan untuk tiga puluh hari mulai dari urusan kaki sampai kepala melebar dari urusan penampilan hingga kesehatan. Berbeda dengan saat aku masih bujang rupanya setelah berkeluarga urusan belanja bulanan lebih bisa terkontrol dan benar-benar antri dari keperluan pokok terlebih dulu. Mungkin itu positifnya. Namun tetap saja belanja banyak ataupun sedikit aku selalu dihadapkan dilema begitu sampai di depan kasir. Bukan perkara bayar tapi perkara pembungkus! Dilema untuk membiarkan barang-barang saya dikemas oleh kasir dalam berbelas kantung plastik atau bersikap ekstrem untuk membungkus dan menganggkut sendiri barang saya dengan wadah yang telah saya siapkan dari rumah.

Belakangan saya sadari keberadaan kantong-kantong plastik itu sangat mengganggu tidak saja mata saya tapi juga kepedulian saya. Terlepas bahwa kantung plastik telah memberikan solusi dalam memberikan alternatif material yang awet, ringan dan murah sebagai pembungkus namun ada sisi lain yang membuat kita harus bijak memakai material ini. Apalagi kalau bukan masalah sulitnya material ini terurai di tanah hingga menimbulkan polusi. Terlebih lagi kota ini belum memiliki sistem pengelolaan limbah yang terpadu hingga bisa mendaur ulang sampah non organik serta belum tertanamnya kesadaran masyarakat akan kepedulian mengenai polusi plastik ini.[…….]

Continue Reading

You may also like

Aku, si Buruk Rupa & WWF

Sudah mulai 2006 lalu secara tak resmi aku menjadi kontributor tulisan di media WWF. Bersama 3 teman lain secara berkala pihak WWF menghubungi kami dengan satu tema tulisan untuk kami tulis dan publikasikan di media WWF entah itu Salam (sahabat Alam) online maupun yang newsletter. Setelah tulisan tentang Sampah pada News letter WWF [DI SINI], kali ini pada Buletin Salam Online aku menulis tentang ikan Napoleon. Tulisan lengkap ada [Di SINI]. Dan berikut petikannya:

Ikan Napoleon: Si Buruk Rupa yang Tak Ternilai

Kontributor: Be Samyono

Jangan menilai buku dari kulitnya, mungkin pepatah ini tepat dialamatkan pada ikan terumbu ini. Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) yang kerap dipanggil ikan menami oleh penduduk daerah Wakatobi ini memiliki gerakan lamban menakutkan, warna biru gelap, kening besar serta ukuran yang bisa mencapai panjang 2,29 cm dan bobot 191 kg. Di balik fisiknya, ternyata ikan ini sangat populer sebagai sajian istimewa. Di Hongkong, hidangan ikan Napoleon dibandrol hingga 80 dollar US perkilonya. Sehingga ia tidak saja diagungkan karena kelezatan dan kemahalannya namun memakan Napoleon juga sebagai lambang status sosial.[……..]

Continue Reading

You may also like

Warna Itu Tak Berkelamin

Seperti malam-malam sebelumnya di bulan puasa ini, aku dan bunda selalu menjemput ayah dikantornya selepas buka puasa. Bertiga dengan taksi kami lalu menuju Masjid Al Hidayah, masjid tua berarsitektur china yang megah berdiri di belakang gedung Sampoerna Strategic Square. Kami selalu menunaikan sholat tarawih disini. Ini satu pilihan yang terbaik daripada kami harus berhadapan dengan macet hingga tertinggal waktunya bila pulang terlebih dahulu. Setidaknya tempat inipun dekat dengan empek-empek @bing kegemaran bunda dan tak jauh dijangkau dari kantor ayah. Waktu masih panjang hingga ke Isya’ membuat kami memutuskan untuk menunggu di teras masjid.

“Lebaran gini di kantor banyak bazar loh Be,” Bunda membuka cerita.”Cuman duh ramenya ya, sampai ngeri kalo harus ikutan berebut dengan banyak orang. Lihatnya saja udah pusing.

Aku ketawa dengar cerita bunda yang memang paling alergi dengan belanja-belanja apalagi di tempet rame. Kulihat ayahpun cuman tersenyum mendengarnya.

“Pinginnya sih mencicil beli baju buat Dedek, tapi gimana Dedeknya masih malu kalo di USG,”

“Kalo untuk selimut, baju hangat khan unisex Hun,”

“Ya seh tapi warnanya?” Bunda menggeser duduknya untuk bisa menyandar di pilar,”Kalau dia cowok padahal kita siapin warna pink atau sebaliknya bagaimana?” […….]

Continue Reading

You may also like